Sejak
Kan-to-li runtuh pada 563 M, ada jarak delapan puluh tahun sebelum
Kerajaan Melayu di Sumatra bagian timur mengirimkan sebuah misi ke Cina
dan melakukan perdagangan. Kondisi itu menunjukkan bahwa tanda-tanda
kehidupan mulai muncul kembali. Saat itu, Kerajaan Funan benar-benar
telah runtuh. Jalur darat menyeberangi Genting Tanah Kra tak digunakan
lagi, dan pola perdagangan telah berganti ke jalur laut menuju Selat
Malaka.
Ketika Kerajaan Ko-ying dan Kan-to-li mulai berdiri, kelangsungan hidup kerajaan-kerajaan di Indonesia telah dan terus bergantung pada keseimbangan tiga jenis hubungan, yaitu:
Pada saat yang sama, Kerajaan Sriwijaya, dari ibu kotanya Palembang di tepi Sungai Musi, tampaknya telah membangun "Angkatan Laut Kerajaan yang terdiri dari para pelaut Nomaden" yang lebih kuat daripada wilayah-wilayah tetangganya. Pada akhir abad ke-7, angkatan laut tersebut telah mendominasi jalur perniagaan laut melalui Asia Tenggara. Sebuah inskripsi yang ditemukan di dekat Palembang menunjukkan kekuatan yang dimilikinya. Inskripsi itu menjelaskan bagaimana Raja Sriwijaya pada 23 April 683 M berusaha mendapatkan siddhayatra—sebuah proses menuju "kekuatan supernatural"—dengan 20.000 prajurit yang mengelu-elukannya, yang ditugaskan di atas kapal untuk menaklukkan musuh bebuyutannya, Kerajaan Melayu (sekarang Jambi), dan mengukuhkan kekuasaannya terhadap masyarakat di sepanjang Sungai Batanghari. Ekspansi yang didukung oleh kekuatan semacam itu tidak pernah terjadi sebelumnya dan Sriwijaya tidak berhenti hanya sampai di Jambi.
Meskipun ada dugaan bahwa angkatan laut Sriwijaya disusun dari golongan orang laut yang tinggal di pulau-pulau dekat pantai, bukan demikian yang sesungguhnya terjadi. Jika orang laut yang dimaksud di milenium pertama adalah orang-orang yang secara relatif masih primitif, individualistik, kelompok pelaut nomaden yang belakangan tinggal di sekitar Selat Malaka sampai Kepulauan Lingga, tidak mungkin mereka dapat mengerahkan kedisiplinan dan kekuatan untuk menciptakan angkatan laut yang terkoordinasi seperti yang dibutuhkan Sriwijaya.
Tetapi, jika angkatan laut tersebut tidak dibentuk dari para pelaut lokal, lalu siapakah mereka sebenarnya?
Untuk bertahan hidup di wilayah kepulauan, sebagian besar orang Indonesia telah mengasah kemampuan mengarungi lautan sebagai dasar untuk bertahan hidup sejak zaman dulu. Seperti yang ditulis oleh O.W. Wolters: “Kehandalan bangsa Melayu sebagai pelaut tidak hanya dikenal pada masa I Tsing, yang berlayar ke India dengan salah satu kapal mereka. Kepandaian mereka pada abad ke-7 itu diraih melalui petualangan gagah berani menembus samudra dalam waktu yang panjang." Catatan yang dibuat pada abad ke-3 menceritakan kapal-kapal yang berlayar dari Filipina menyeberangi lebih dari 800 mil lautan lepas mcnuju Funan; tiga ratus tahun kemudian. Utusan-utusan Cina berhasil mencapai Semenanjung Malaya dengan menggunakan kapal "barbar". Di luar itu semua, kita telah mengetahui bahwa bangsa Indonesia telah berpengalaman dalam hal bahari selama ribuan tahun.
Lalu, siapa sebenarnya orang-orang yang mengawaki kapal-kapal kuno tersebut?
Mengejar hantu berusia dua ribu tahun terbukti hanya membuang-buang waktu percuma. Oleh karena itu, daripada mencoba menarik kesimpulan dari bukti arkeologi yang tidak memadai dan referensi Cina yang tak jelas, mungkin kita bisa mendapat lebih banyak informasi tentang mereka dengan mempelajari cara berlayar sepanjang masa, dan mencoba memperkirakan apa yang terjadi pada masa lampau.
Ada beberapa kelompok pelaut nomaden yang bertahan di seluruh pelosok kepulauan yang mcrupakan keturunan pelaut-pelaut masa lampau yang patut untuk digali keberadaannya. Salah satunya yang cukup dikenal dan tampak nyata adalah Mawken, yang berasal dari kelompok manusia-perahu, yang karena posisi mereka di sepanjang pantai Semenanjung Kra, kemungkinan memiliki pengaruh yang kuat di wilayah tersebut. Tetapi, meskipun Mawken digambarkan sebagai "pelaut yang paling handal di muka bumi", perahu-perahu mereka—yang dibuat dari batang pohon yang dilubangi—berukuran kecil, dan mereka menurut pengamatan orang pada abad ke-18 merupakan penduduk asli yang pemalu dan langsung berpencar dan bersembunyi di hutan-hutan bakau jika melihat orang asing. Menurut salah satu cerita mengenai asal-usul mereka, mereka tinggal di lahan yang ditumbuhi kelapa, pisang, nanas, sukun, dan lain-lain. Tetapi karena terus-menerus diganggu oleh para tuan tanah Birma dan Malaya, mereka akhirnya meninggalkan lahan mereka untuk tinggal secara permanen dalam perahu-perahu kano yang menjelma menjadi rumah terapung yang mereka beri atap. Mereka tidak memiliki sejarah tentang perahu-perahu besar yang mampu berlayar mengarungi samudra, sehingga dapat diabaikan.
Di perairan sekitar Kalimantan dan di selat antara Singapura dan Sumatra, terdapat sejumlah besar "Orang Laut" yang lain: Orang Tambus, Orang Mantang, Orang Barok, Orang Galang, Orang Sekanak, Orang Pasik, Orang Moro, Orang Sugi, dan lain-lain. Mereka yang terbagi-bagi dalam lusinan suku yang lebih kecil, tak diragukan lagi memiliki peran yang penting ... tetapi mereka kcmungkinan hanya tcrdiri dari kumpulan-kumpulan kccil yang bersembunyi di hutan-hutan bakau dan muara-muara di pulau-pulau keeil yang tak terhitung banyaknya—yang merupakan ancaman bagi para pelintas yang kurang waspada dan lebih baik dihindari. Seperti halnya Mawken, menurut cerita-cerita yang santer tentang mereka, mereka tidak mungkin dikategorikan sebagai orang-orang yang mampu membangun kelompok penjelajah dan pedagang terorganisasi yang dapat mengarungi samudra menuju India dan Afrika. Mereka lebih mirip seperti kelompok yang bisa disebut orang laut, kelompok Ma-lo-nu dari Sarawak yang menurut riwayat Cina, para pemimpinnya melubangi gigi emasnya serta makan dan minum dari tengkorak manusia, dan "... merupakan kelompok orang-orang liar, yang menangkap kapal karam, memanggang awak kapal yang karam tersebut di atas api dengan menggunakan penjepit bambu yang besar dan memakan mereka".
Jauh di sebelah timur kepulauan, antara Sulawesi dan Mindanao terdapat suku Samal yang gemar berperang yang memiliki perahu besar sejenis kora-kora. Pada 1847, kapal uap Inggris Nemesis bertemu dengan armada yang terdiri dari 40 hingga 60 kapal perompak berjenis tersebut. Kapal terbesar digambarkan memiliki panjang 80 kaki dengan awak berjumlah 80 orang, sedangkan yang lain memiliki panjang sekitar 70 kaki, lebar 12 kaki, dengan awak berjumlah 40 orang, dan membawa empat hingga enam senjata. David Sopher menulis dalam bukunya, "Perangkat kapal bajak laut milik orang-orang Illanun dan Samal adalah tepian panda yang digunakan untuk mendayung seperti bireme Mediterania pada zaman dulu, yang pada kapal bajak laut maupun kapal perang memiliki persyaratan kecepatan dan kapasitas yang lama untuk membawa pasukan perang dalam jumlah besar seperti kapal perompak bangsa Moro."' Kapal sejenis kora-kora mampu mclakukan perjalanan di laut lepas, sesuai perkiraan kita tentang hubungan kapal semacam itu dengan sangara pada masa Pliny. Tetapi, kapasitas angkutnya lebih kecil, dan para pemiliknya kemungkinan lebih tertarik dengan profesi bajak laut warisan dari masa lalu daripada berkecimpung dalam pelayaran jarak jauh yang dibutuhkan oleh Sriwijaya.
Kemudian, terdapat orang Bajau yang terkenal, yang merupakan bangsa pelaut nomaden yang telah tersebar di segala penjuru kepulauan.
Tampaknya sudah sejak lama bangsa Bajau atau Bajo menjalani kehidupan sebagai salah satu pelaut handal yang keberadaannya tersebar di Kepulauan Indonesia. Oleh karena itu, bangsa Bajo memiliki potensi lebih baik untuk menjadi angkatan laut Kerajaan Sriwijaya. Sejarah mereka masih samar-samar, tetapi dengan melihat dari jumlah tempat yang mengenal nama "Bajau", "Bajo", "Baja", "Waju", atau "Bajoo", mereka tampaknya tersebar di mana-mana. Toponim "Bajo" dapat ditemukan dari ujung ke ujung Kepulauan Indonesia: dari Kepulauan Mentawai di lepas pantai barat Pulau Sumatra hingga Papua di sebelah timur—sebuah wilayah yang sangat luas yang berjarak 2.500 mil dari barat ke timur dan 1.000 mil dari utara ke selatan. "Eksistensi mereka ditandai dengan perjalanan mengarungi lautan. Berlayar di laut lepas mcrupakan hal biasa bagi mereka—mereka mengarungi laut seperti layaknya burung-burung laut," kata seorang pelancong bernama Raymond Kennedy, bertahun-tahun yang lalu.
Yang terpenting, asal-usul orang Bajo yang misterius itu sangat erat kaitannya dengan bangsa pelaut lain, antara lain bangsa Bugis (terkadang ditulis Bugi atau Buki), orang Mandar, dan orang Makassar. Jika keberanian mereka di masa sekarang mencerminkan keberanian di masa lalu, dapat dipastikan mereka memiliki prasyarat untuk menjadi angkatan laut Kerajaan Sriwijaya ribuan tahun yang lalu.
Orang Bajo disebut-sebut berasal dari Sulawesi, yang merupakan wilayah yang sama dengan orang Bugis atau Tau-Wugi, dan memiliki jalinan kekerabatan yang dekat dengan "orang-orang Wugi" tersebut. Pada 1885, Bastian menulis tentang peran orang Bajo dalam pembentukan wilayah politik (kerajaan) pertama di Sulawesi: "Tradisi (mereka) mengacu pada masa-masa awal pseudo sejarah orang Bugis dan Makassar, pada periode dongeng ketika kelompok penguasa diturunkan dari surga, memerintah selama tujuh generasi, dan kemudian menghilang. Mungkin karena mereka telah memasuki periode penetrasi budaya Hindu-Jawa." Dari penjelasan tersebut, tampaknya mereka berasal dari garis keturunan yang amat kuno yang mapan pada zaman Sriwijaya.
Meskipun punya hubungan dekat dengan orang-orang Bugis dan Makassar, kebiasaan-kebiasaan orang Bajo cukup bervariasi di setiap tempat mereka tinggal. Sebagian besar dari mereka, misalnya orang Mawken, menganggap perahu kecil sebagai rumah mereka. Mereka dilahirkan, tumbuh, dan meninggal di atas perahu, mencari penghidupan di muara-muara berair dangkal di pulau-pulau terpencil tempat tinggal kawanan buaya. Di sana, mereka menangkap ikan, kura-kura, dan burung merpati. Sebagian yang lain berkelana hingga ke pantai utara Australia untuk mencari teripang, yang dihargai tinggi di Cina bagian selatan karena kelezatannya. Orang Bajo yang lebih kaya tinggal di kapal yang disebut vinta, kapal bercadik yang memiliki tiga atau empat penyangga. Seperti halnya stink-pot yang pada masa kini terdapat di marina-marina di seluruh dunia, vinta "ditujukan hanya sebagai tempat hunian"; sebuah tempat tinggal untuk keluarga yang tidak pernah meninggalkan sauhnya. "Tak ada angin, tak ada ombak," kata orang-orang Bajo sambil tersenyum, "kapal itu tetap bergoyang!"
Beberapa orang Bajo membentuk hubungan baik dengan orang-orang dari kasta yang lebih tinggi di pulau-pulau besar yang lebih maju, dengan cara menyediakan ikan-ikan untuk mereka, mengantarkan pesanan dari pulau ke pulau, dan bertindak sebagai kuli yang membawa barang dagangan. Orang-orang Bajo yang berada di daratan ini "berburu" di lahan seperti halnya mereka berburu ikan di laut; mereka menanam padi dan tanaman lainnya, juga menjaga kebun kelapa, pisang, dan buah-buahan lain. Beberapa dari mereka membangun rumah panjang untuk keluarga besar mereka, sedangkan para pelaut nomaden yang sesungguhnya—jika mereka harus tinggal sementara di pantai—akan membangun pondok di pantai yang bentuknya lebih kasar, dan hanya untuk ditempati oleh keluarga inti. Biasanya, perkampungan orang Bajo dapat ditemukan di pulau-pulau terpencil atau tanjung-tanjung yang berjarak satu atau dua hari dari pasar terdekat tempat mereka menjual ikan-ikan mereka. Mereka adalah orang-orang yang menyukai kedamaian, sering berkelana tanpa membawa senjata, dan sering diganggu oleh para bajak laut. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk membela diri secara terorganisasi, dan taktor itulah yang membuat mereka tersebar hingga ke wilayah yang luas. Beberapa peneliti melaporkan bahwa "Bangsa Bajo memiliki kecenderungan untuk tetap berkelompok, dan menyingkir mencari tempat tinggal lain jika diganggu."
Bahasa dan kebiasaan-kebiasaan orang Bajo, seperti halnya orang Bugis yang merupakan "sepupu" mereka, mengalami perubahan secara konstan sebagai akibat dari hubungan mereka dengan bangsa-bangsa lain. Kemauan mereka untuk mengambil dan menggunakan bahasa-bahasa dari penduduk yang mendiami pulau-pulau merupakan bagian penting yang harus dicatat. Hal tersebut bahkan berlaku hingga benda-benda yang penting bagi kehidupan mereka, seperti istilah-istilah yang berhubungan dengan kapal, yang dianggap sebagian orang tidak akan mengalami perubahan. Adrian Horridge, yang memahami permasalahan itu dengan baik pada 1970-an dan 1980-an, menulis: "sebagai pelaut yang sering berkelana ke sana-kemari, mereka sangat cepat mengadopsi bahasa lokal dan mulai menggunakan kata-kata dalam bahasa tersebut untuk menyebut perahu dan peralatan mereka, dan hal itu sungguh amat mencengangkan."
Sebaliknya, ada pula fakta bahwa orang-orang Bajo, Bugis, Makassar, Mandar, dan kelompok-kelompok lain yang masih memiliki kekerabatan yang mendominasi "dunia perahu", masing-masing memiliki istilah yang sangat berbeda untuk bagian-bagian dari perahu. Perbendaharaan kata khusus itu terbentuk selama bertahun-tahun; dengan demikian, beragamnya jenis kapal mcnunjukkan adanya pengembangan secara bertahap selama periode yang lama, dan pada saat yang sama menunjukkan beragam gaya hidup yang mengisyaratkan bahwa orang-orang Bajo dan Bugis telah berkelana sampai ke tcmpat yang jauh.
Jika orang-orang Bajo telah berlayar hingga ke tempat-tempat yang jauh dan merupakan nelayan dan pedagang yang terampil, orang Bugis memiliki kemampuan yang membuat mereka pantas menjadi pemimpin angkatan laut di wilayah tersebut. Seorang sosiolog pernah menggambarkan struktur sosial bangsa Bugis sebagai bangsa yang "sentrifugal". Mereka "mengirim anggota-anggota mereka pergi keluar lembah dan pulau tempat mereka tinggal, secara temporer atau selamanya, ke dunia luar, dan mereka bekerja keras mencari kebijaksanaan dan kekayaan .... untuk bangsa Bugis, pergi merantau sama normalnya dengan menikah." Sentrifugalisme ini sangat kontras dengan masyarakat "sentripetal", seperti orang-orang Bali atau Toraja, yang anggota masyarakatnya "ditarik ke dalam dan terjerat dalam jaring kewajiban-kewajiban yang ada dalam masyarakat, kekerabatan, dan ritual". Hal itu merupakan latar belakang sosial yang sempurna bagi para perantau dan penjelajah."
Selain keahlian bahari mereka, bangsa Bugis mempunyai reputasi sebagai pedagang dan juga prajurit yang setia sekaligus kejam. Selama berabad-abad mereka merupakan pemain utama dalam pengangkutan rempah-rempah, kayu cendana, mutiara, ambergris, damar, sarang burung walet yang dapat dimakan, sagu, dan sirip ikan hiu yang dikeringkan, untuk diperdagangkan di Cina bagian selatan. Ketika Portugis datang pada awal 1500-an, bangsa Bugis juga telah dikenal sebagai bajak laut yang menjual hasil rampasan mereka hingga ke Malaka. Bahkan pada 1970-an, sekitar dua ratus kapal yang dikenal sebagai kapal Pinisi milik bangsa Bugis yang beratnya antara 120-200 ton, masih bisa ditemukan memenuhi pelabuhan Sunda Kelapa di dekat Jakarta, dan lebih banyak lagi di Surabaya atau Ujung Pandang. Dan pada 1980-an, armada yang terdiri dari 800 Pinisi masih membawa kayu dalam rute reguler dari Kalimantan ke Jawa.
Bangsa Bugis juga merupakan koloni bahari yang sukses, yang berhasil mendirikan pos-pos perdagangan hampir di setiap pelabuhan di Indonesia. Pada abad ke-17, mereka bahkan mengambil alih kerajaan Johor, dan dalam kurun waktu 1820-1830, pada masa‑masa pembentukan Singapura, bangsa Bugis sudah memiliki tempat tinggal di sana. Pada 1792, seorang pelancong menyatakan bahwa "Masyarakat Bugis yang datang tiap tahun untuk berdagang di Sumatra dianggap para penduduk setempat sebagai teladan dalam cara bersikap, bangsa Melayu meniru gaya berpakaian mereka, serta membuat pantun-pantun yang memuji pencapaian mereka. Reputasi mereka tentang keberanian, yang melebihi semua pelaut di perairan bagian timur, mendapat sanjungan khusus. Mereka juga memperoleh rasa hormat dari barang-barang mahal yang mereka datangkan, serta semangat yang mereka tunjukkan ketika membelanjakannya."
Empat puluh lima tahun kemudian, seorang penulis bercerita tentang bangsa Bugis yang membentuk koloni di India: "... dalam hal kejujuran, kepribadian, dan perilaku, mereka jauh lebih unggul daripada bangsa Melayu. ...” Orang asing menganggap bangsa Bugis sebagai bangsa perompak. Seorang Cina berkata bahwa orang-orang Bugis 'suka berpikir dan bertindak menuruti kemauan sendiri, dan mencari keuntungan dengan cara yang tidak benar'. Tanpa bermaksud untuk menentang pendapat itu, selama saya berkunjung ke India, saya tidak pernah satu kali pun mendengar adanya pembajakan yang dilakukan oleh pedagang Bugis. Bahkan, sepanjang pengetahuan saya, ada beberapa peristiwa yang justru membuktikan bahwa mereka cenderung bersikap sebaliknya."
Peta asal Belanda yang dibuat pada abad kc-18 dan digambar kembali o1eh navigator Bugis, menunjukkan bahwa pelaut-pelaut gagah berani itu telah berhasil mencapai Kepulauan Maladewa yang bentuknya menggantung dari India seperti pukat/jaring yang dapat menangkap semua pergerakan yang tcrjadi antara Asia Timur dan Afrika. Tak ada yang tahu, sudah berapa lama mereka berada di Maladewa. Tetapi, dengan melihat bentuk kapal mereka yang lebih mirip dengan kapal Indonesia dibandingkan dengan kapal India atau Arab, diperkirakan hubungan itu sudah berlangsung sejak jaman dulu."
Dari semua penjelasan di atas, terlihat bahwa bangsa Bugis, sampai dengan saat ini, adalah bangsa pelaut yang luar biasa. Pemimpin yang baik, pelaut ulung, pedagang yang jujur, senang berpetualang, dan prajurit perang yang baik. Pada masa lampau, mungkin mereka adalah bajak laut yang kejam dan suka memenggal kepala lawannya. Tetapi jika sewaktu-waktu seorang penguasa kerajaan Indonesia membutuhkan sebuah armada yang dikelola pelaut paling hebat yang pernah ada, tak ada yang melebihi kehebatan pelaut Bajo atau Bugis, atau gabungan dari keduanya. Jika muncul kebutuhan semacarn itu, bangsa Bugis dan keturunan mereka akan terpilih menjadi orang-orang yang paling dipercaya. Kelompok inilah yang paling mampu melayani kerajaan-kerajaan tua di Indonesia dengan baik, khususnya Sriwijaya. Dan dalam kasus perjalanan ke Afrika, mereka (bangsa Bugis) adalah orang Indonesia yang paling mungkin terlibat.
Ada pendapat lain yang mendukung hipotesis ini. Sebuah inskripsi tua Melayu yang berasal dari Palembang dan Pulau Bangka menceritakan siddhayatra yang agung, ketika Raja Sriwijaya melakukan pencarian "kekuatan supernatural". Isinya tidak dapat secara langsung kita pahami, tetapi bahasa yang digunakan dalam inskripsi itu sangat penting. Fakta ini ditemukan olch Alexander Adelaar ketika sedang mempelajari asal-usul bahasa Madagaskar. Dengan memerhatikan kemiripan antara bahasa Malagasi clan Melayu, ia membandingkan istilah-istilah dalam bahasa Melayu yang sama dengan bahasa Malagasi, lalu menarik kesimpulan: "Istilah-istilah dalam inskripsi tersebut menunjukkan bahwa migran Malagasi pada masa lampau melakukan hubungan dengan Sumatra Selatan ...... Lebih jauh lagi, lanjutnya, "Bukti-bukti tersebut memperkuat hipotesis yang telah disebutkan di atas bahwa beberapa kalimat dalam bahasa yang tak dikenal (yang menunjukkan kemiripan dengan bahasa-bahasa Barito) yang tertera pada inskripsi bangsa Melayu di Sumatra Selatan pada abad ke-7 M adalah sejenis bahasa pra-Malagasi."
Pentingnya bukti-bukti itu akan terkuak jika kita mulai melihat hubungan antara Madagaskar dan Afrika. Tetapi, selain memperkuat dugaan kaitan antara Sriwijaya dan Madagaskar, bukti-bukti itu juga memperlihatkan adanya hubungan antara Sriwijaya dan Sulawesi/Kalimantan. Bahasa-bahasa Barito yang disebut olch Adelaar (diambil dari nama sungai di Kalimantan Selatan) yang memiliki kesamaan, tidak saja dengan bahasa Malagasi modern, tetapi juga dengan bahasa-bahasa yang ada di Sulawesi Barat Daya, yang merupakan kampung halaman bangsa Bugis, Bajo, dan Makassar.
Meskipun belum sepenuhnya jelas, semua bukti menunjukkan bahwa nenek moyang bangsa Bugis dan Bajo merupakan tulang punggung angkatan laut Kerajaan Sriwijaya, demikian juga keterkaitan bahasa Bugis/Bajo dengan Madagaskar dan—lebih luas lagi—dengan Pantai Timur Afrika.
(Sumber : Buku Penjelajah Bahari, oleh Roberth Dick-Read, Halaman 88-103)
Ketika Kerajaan Ko-ying dan Kan-to-li mulai berdiri, kelangsungan hidup kerajaan-kerajaan di Indonesia telah dan terus bergantung pada keseimbangan tiga jenis hubungan, yaitu:
- Penguasa, yang berkuasa di pelabuhan-pelabuhan yang berdekatan dengan sungai-sungai besar, yang dapat mengendalikan pergerakan dari daerah pedalaman menuju wilayah pantai, dan sebaliknya:
- Produsen, dalam bidang kehutanan, pertanian, dan pertambangan di daerah pedalaman yang membawa kemakmuran bagi kerajaan;
- Pelaut kerajaan yang kadang-kadang independen, yang melindungi wilayah kerajaan dari para bajak laut yang jahat. Mengawaki kapal armada dagang, dan dalam kasus Sriwijaya, membentuk angkatan laut yang terorganisasi dengan baik.Hubungan ini—yang biasanya mclibatkan orang-orang berlainan budaya, suku, dan loyalitas—disatukan tidak hanya dengan aliansi formal yang dibuat di bawah sumpah, tetapi juga dengan berbagi barang-barang rampasan dari perdagangan mancanegara yang saling menguntunakan. Sistem tersebut sangat rapuh karena jika keseimbangan tersebut terganggu—jika perdagangan menurun dan keuntungan juga menurun—produsen akan mcnahan produknya, atau bahkan mencari pasar yang lain. Atau. seperti yang mungkin terjadi pada Kan-to-li, para pelaut kemungkinan telah mcngkhianati sumpah mereka dan pergi berlayar mencari peruntungan yang lebih baik, atau kembali ke kehidupan lama mereka sebagai bajak laut yang tak mengenal susah.
Pada saat yang sama, Kerajaan Sriwijaya, dari ibu kotanya Palembang di tepi Sungai Musi, tampaknya telah membangun "Angkatan Laut Kerajaan yang terdiri dari para pelaut Nomaden" yang lebih kuat daripada wilayah-wilayah tetangganya. Pada akhir abad ke-7, angkatan laut tersebut telah mendominasi jalur perniagaan laut melalui Asia Tenggara. Sebuah inskripsi yang ditemukan di dekat Palembang menunjukkan kekuatan yang dimilikinya. Inskripsi itu menjelaskan bagaimana Raja Sriwijaya pada 23 April 683 M berusaha mendapatkan siddhayatra—sebuah proses menuju "kekuatan supernatural"—dengan 20.000 prajurit yang mengelu-elukannya, yang ditugaskan di atas kapal untuk menaklukkan musuh bebuyutannya, Kerajaan Melayu (sekarang Jambi), dan mengukuhkan kekuasaannya terhadap masyarakat di sepanjang Sungai Batanghari. Ekspansi yang didukung oleh kekuatan semacam itu tidak pernah terjadi sebelumnya dan Sriwijaya tidak berhenti hanya sampai di Jambi.
Meskipun ada dugaan bahwa angkatan laut Sriwijaya disusun dari golongan orang laut yang tinggal di pulau-pulau dekat pantai, bukan demikian yang sesungguhnya terjadi. Jika orang laut yang dimaksud di milenium pertama adalah orang-orang yang secara relatif masih primitif, individualistik, kelompok pelaut nomaden yang belakangan tinggal di sekitar Selat Malaka sampai Kepulauan Lingga, tidak mungkin mereka dapat mengerahkan kedisiplinan dan kekuatan untuk menciptakan angkatan laut yang terkoordinasi seperti yang dibutuhkan Sriwijaya.
Tetapi, jika angkatan laut tersebut tidak dibentuk dari para pelaut lokal, lalu siapakah mereka sebenarnya?
Untuk bertahan hidup di wilayah kepulauan, sebagian besar orang Indonesia telah mengasah kemampuan mengarungi lautan sebagai dasar untuk bertahan hidup sejak zaman dulu. Seperti yang ditulis oleh O.W. Wolters: “Kehandalan bangsa Melayu sebagai pelaut tidak hanya dikenal pada masa I Tsing, yang berlayar ke India dengan salah satu kapal mereka. Kepandaian mereka pada abad ke-7 itu diraih melalui petualangan gagah berani menembus samudra dalam waktu yang panjang." Catatan yang dibuat pada abad ke-3 menceritakan kapal-kapal yang berlayar dari Filipina menyeberangi lebih dari 800 mil lautan lepas mcnuju Funan; tiga ratus tahun kemudian. Utusan-utusan Cina berhasil mencapai Semenanjung Malaya dengan menggunakan kapal "barbar". Di luar itu semua, kita telah mengetahui bahwa bangsa Indonesia telah berpengalaman dalam hal bahari selama ribuan tahun.
Lalu, siapa sebenarnya orang-orang yang mengawaki kapal-kapal kuno tersebut?
Mengejar hantu berusia dua ribu tahun terbukti hanya membuang-buang waktu percuma. Oleh karena itu, daripada mencoba menarik kesimpulan dari bukti arkeologi yang tidak memadai dan referensi Cina yang tak jelas, mungkin kita bisa mendapat lebih banyak informasi tentang mereka dengan mempelajari cara berlayar sepanjang masa, dan mencoba memperkirakan apa yang terjadi pada masa lampau.
Ada beberapa kelompok pelaut nomaden yang bertahan di seluruh pelosok kepulauan yang mcrupakan keturunan pelaut-pelaut masa lampau yang patut untuk digali keberadaannya. Salah satunya yang cukup dikenal dan tampak nyata adalah Mawken, yang berasal dari kelompok manusia-perahu, yang karena posisi mereka di sepanjang pantai Semenanjung Kra, kemungkinan memiliki pengaruh yang kuat di wilayah tersebut. Tetapi, meskipun Mawken digambarkan sebagai "pelaut yang paling handal di muka bumi", perahu-perahu mereka—yang dibuat dari batang pohon yang dilubangi—berukuran kecil, dan mereka menurut pengamatan orang pada abad ke-18 merupakan penduduk asli yang pemalu dan langsung berpencar dan bersembunyi di hutan-hutan bakau jika melihat orang asing. Menurut salah satu cerita mengenai asal-usul mereka, mereka tinggal di lahan yang ditumbuhi kelapa, pisang, nanas, sukun, dan lain-lain. Tetapi karena terus-menerus diganggu oleh para tuan tanah Birma dan Malaya, mereka akhirnya meninggalkan lahan mereka untuk tinggal secara permanen dalam perahu-perahu kano yang menjelma menjadi rumah terapung yang mereka beri atap. Mereka tidak memiliki sejarah tentang perahu-perahu besar yang mampu berlayar mengarungi samudra, sehingga dapat diabaikan.
Di perairan sekitar Kalimantan dan di selat antara Singapura dan Sumatra, terdapat sejumlah besar "Orang Laut" yang lain: Orang Tambus, Orang Mantang, Orang Barok, Orang Galang, Orang Sekanak, Orang Pasik, Orang Moro, Orang Sugi, dan lain-lain. Mereka yang terbagi-bagi dalam lusinan suku yang lebih kecil, tak diragukan lagi memiliki peran yang penting ... tetapi mereka kcmungkinan hanya tcrdiri dari kumpulan-kumpulan kccil yang bersembunyi di hutan-hutan bakau dan muara-muara di pulau-pulau keeil yang tak terhitung banyaknya—yang merupakan ancaman bagi para pelintas yang kurang waspada dan lebih baik dihindari. Seperti halnya Mawken, menurut cerita-cerita yang santer tentang mereka, mereka tidak mungkin dikategorikan sebagai orang-orang yang mampu membangun kelompok penjelajah dan pedagang terorganisasi yang dapat mengarungi samudra menuju India dan Afrika. Mereka lebih mirip seperti kelompok yang bisa disebut orang laut, kelompok Ma-lo-nu dari Sarawak yang menurut riwayat Cina, para pemimpinnya melubangi gigi emasnya serta makan dan minum dari tengkorak manusia, dan "... merupakan kelompok orang-orang liar, yang menangkap kapal karam, memanggang awak kapal yang karam tersebut di atas api dengan menggunakan penjepit bambu yang besar dan memakan mereka".
Jauh di sebelah timur kepulauan, antara Sulawesi dan Mindanao terdapat suku Samal yang gemar berperang yang memiliki perahu besar sejenis kora-kora. Pada 1847, kapal uap Inggris Nemesis bertemu dengan armada yang terdiri dari 40 hingga 60 kapal perompak berjenis tersebut. Kapal terbesar digambarkan memiliki panjang 80 kaki dengan awak berjumlah 80 orang, sedangkan yang lain memiliki panjang sekitar 70 kaki, lebar 12 kaki, dengan awak berjumlah 40 orang, dan membawa empat hingga enam senjata. David Sopher menulis dalam bukunya, "Perangkat kapal bajak laut milik orang-orang Illanun dan Samal adalah tepian panda yang digunakan untuk mendayung seperti bireme Mediterania pada zaman dulu, yang pada kapal bajak laut maupun kapal perang memiliki persyaratan kecepatan dan kapasitas yang lama untuk membawa pasukan perang dalam jumlah besar seperti kapal perompak bangsa Moro."' Kapal sejenis kora-kora mampu mclakukan perjalanan di laut lepas, sesuai perkiraan kita tentang hubungan kapal semacam itu dengan sangara pada masa Pliny. Tetapi, kapasitas angkutnya lebih kecil, dan para pemiliknya kemungkinan lebih tertarik dengan profesi bajak laut warisan dari masa lalu daripada berkecimpung dalam pelayaran jarak jauh yang dibutuhkan oleh Sriwijaya.
Kemudian, terdapat orang Bajau yang terkenal, yang merupakan bangsa pelaut nomaden yang telah tersebar di segala penjuru kepulauan.
Tampaknya sudah sejak lama bangsa Bajau atau Bajo menjalani kehidupan sebagai salah satu pelaut handal yang keberadaannya tersebar di Kepulauan Indonesia. Oleh karena itu, bangsa Bajo memiliki potensi lebih baik untuk menjadi angkatan laut Kerajaan Sriwijaya. Sejarah mereka masih samar-samar, tetapi dengan melihat dari jumlah tempat yang mengenal nama "Bajau", "Bajo", "Baja", "Waju", atau "Bajoo", mereka tampaknya tersebar di mana-mana. Toponim "Bajo" dapat ditemukan dari ujung ke ujung Kepulauan Indonesia: dari Kepulauan Mentawai di lepas pantai barat Pulau Sumatra hingga Papua di sebelah timur—sebuah wilayah yang sangat luas yang berjarak 2.500 mil dari barat ke timur dan 1.000 mil dari utara ke selatan. "Eksistensi mereka ditandai dengan perjalanan mengarungi lautan. Berlayar di laut lepas mcrupakan hal biasa bagi mereka—mereka mengarungi laut seperti layaknya burung-burung laut," kata seorang pelancong bernama Raymond Kennedy, bertahun-tahun yang lalu.
Yang terpenting, asal-usul orang Bajo yang misterius itu sangat erat kaitannya dengan bangsa pelaut lain, antara lain bangsa Bugis (terkadang ditulis Bugi atau Buki), orang Mandar, dan orang Makassar. Jika keberanian mereka di masa sekarang mencerminkan keberanian di masa lalu, dapat dipastikan mereka memiliki prasyarat untuk menjadi angkatan laut Kerajaan Sriwijaya ribuan tahun yang lalu.
Orang Bajo disebut-sebut berasal dari Sulawesi, yang merupakan wilayah yang sama dengan orang Bugis atau Tau-Wugi, dan memiliki jalinan kekerabatan yang dekat dengan "orang-orang Wugi" tersebut. Pada 1885, Bastian menulis tentang peran orang Bajo dalam pembentukan wilayah politik (kerajaan) pertama di Sulawesi: "Tradisi (mereka) mengacu pada masa-masa awal pseudo sejarah orang Bugis dan Makassar, pada periode dongeng ketika kelompok penguasa diturunkan dari surga, memerintah selama tujuh generasi, dan kemudian menghilang. Mungkin karena mereka telah memasuki periode penetrasi budaya Hindu-Jawa." Dari penjelasan tersebut, tampaknya mereka berasal dari garis keturunan yang amat kuno yang mapan pada zaman Sriwijaya.
Meskipun punya hubungan dekat dengan orang-orang Bugis dan Makassar, kebiasaan-kebiasaan orang Bajo cukup bervariasi di setiap tempat mereka tinggal. Sebagian besar dari mereka, misalnya orang Mawken, menganggap perahu kecil sebagai rumah mereka. Mereka dilahirkan, tumbuh, dan meninggal di atas perahu, mencari penghidupan di muara-muara berair dangkal di pulau-pulau terpencil tempat tinggal kawanan buaya. Di sana, mereka menangkap ikan, kura-kura, dan burung merpati. Sebagian yang lain berkelana hingga ke pantai utara Australia untuk mencari teripang, yang dihargai tinggi di Cina bagian selatan karena kelezatannya. Orang Bajo yang lebih kaya tinggal di kapal yang disebut vinta, kapal bercadik yang memiliki tiga atau empat penyangga. Seperti halnya stink-pot yang pada masa kini terdapat di marina-marina di seluruh dunia, vinta "ditujukan hanya sebagai tempat hunian"; sebuah tempat tinggal untuk keluarga yang tidak pernah meninggalkan sauhnya. "Tak ada angin, tak ada ombak," kata orang-orang Bajo sambil tersenyum, "kapal itu tetap bergoyang!"
Beberapa orang Bajo membentuk hubungan baik dengan orang-orang dari kasta yang lebih tinggi di pulau-pulau besar yang lebih maju, dengan cara menyediakan ikan-ikan untuk mereka, mengantarkan pesanan dari pulau ke pulau, dan bertindak sebagai kuli yang membawa barang dagangan. Orang-orang Bajo yang berada di daratan ini "berburu" di lahan seperti halnya mereka berburu ikan di laut; mereka menanam padi dan tanaman lainnya, juga menjaga kebun kelapa, pisang, dan buah-buahan lain. Beberapa dari mereka membangun rumah panjang untuk keluarga besar mereka, sedangkan para pelaut nomaden yang sesungguhnya—jika mereka harus tinggal sementara di pantai—akan membangun pondok di pantai yang bentuknya lebih kasar, dan hanya untuk ditempati oleh keluarga inti. Biasanya, perkampungan orang Bajo dapat ditemukan di pulau-pulau terpencil atau tanjung-tanjung yang berjarak satu atau dua hari dari pasar terdekat tempat mereka menjual ikan-ikan mereka. Mereka adalah orang-orang yang menyukai kedamaian, sering berkelana tanpa membawa senjata, dan sering diganggu oleh para bajak laut. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk membela diri secara terorganisasi, dan taktor itulah yang membuat mereka tersebar hingga ke wilayah yang luas. Beberapa peneliti melaporkan bahwa "Bangsa Bajo memiliki kecenderungan untuk tetap berkelompok, dan menyingkir mencari tempat tinggal lain jika diganggu."
Bahasa dan kebiasaan-kebiasaan orang Bajo, seperti halnya orang Bugis yang merupakan "sepupu" mereka, mengalami perubahan secara konstan sebagai akibat dari hubungan mereka dengan bangsa-bangsa lain. Kemauan mereka untuk mengambil dan menggunakan bahasa-bahasa dari penduduk yang mendiami pulau-pulau merupakan bagian penting yang harus dicatat. Hal tersebut bahkan berlaku hingga benda-benda yang penting bagi kehidupan mereka, seperti istilah-istilah yang berhubungan dengan kapal, yang dianggap sebagian orang tidak akan mengalami perubahan. Adrian Horridge, yang memahami permasalahan itu dengan baik pada 1970-an dan 1980-an, menulis: "sebagai pelaut yang sering berkelana ke sana-kemari, mereka sangat cepat mengadopsi bahasa lokal dan mulai menggunakan kata-kata dalam bahasa tersebut untuk menyebut perahu dan peralatan mereka, dan hal itu sungguh amat mencengangkan."
Sebaliknya, ada pula fakta bahwa orang-orang Bajo, Bugis, Makassar, Mandar, dan kelompok-kelompok lain yang masih memiliki kekerabatan yang mendominasi "dunia perahu", masing-masing memiliki istilah yang sangat berbeda untuk bagian-bagian dari perahu. Perbendaharaan kata khusus itu terbentuk selama bertahun-tahun; dengan demikian, beragamnya jenis kapal mcnunjukkan adanya pengembangan secara bertahap selama periode yang lama, dan pada saat yang sama menunjukkan beragam gaya hidup yang mengisyaratkan bahwa orang-orang Bajo dan Bugis telah berkelana sampai ke tcmpat yang jauh.
Jika orang-orang Bajo telah berlayar hingga ke tempat-tempat yang jauh dan merupakan nelayan dan pedagang yang terampil, orang Bugis memiliki kemampuan yang membuat mereka pantas menjadi pemimpin angkatan laut di wilayah tersebut. Seorang sosiolog pernah menggambarkan struktur sosial bangsa Bugis sebagai bangsa yang "sentrifugal". Mereka "mengirim anggota-anggota mereka pergi keluar lembah dan pulau tempat mereka tinggal, secara temporer atau selamanya, ke dunia luar, dan mereka bekerja keras mencari kebijaksanaan dan kekayaan .... untuk bangsa Bugis, pergi merantau sama normalnya dengan menikah." Sentrifugalisme ini sangat kontras dengan masyarakat "sentripetal", seperti orang-orang Bali atau Toraja, yang anggota masyarakatnya "ditarik ke dalam dan terjerat dalam jaring kewajiban-kewajiban yang ada dalam masyarakat, kekerabatan, dan ritual". Hal itu merupakan latar belakang sosial yang sempurna bagi para perantau dan penjelajah."
Selain keahlian bahari mereka, bangsa Bugis mempunyai reputasi sebagai pedagang dan juga prajurit yang setia sekaligus kejam. Selama berabad-abad mereka merupakan pemain utama dalam pengangkutan rempah-rempah, kayu cendana, mutiara, ambergris, damar, sarang burung walet yang dapat dimakan, sagu, dan sirip ikan hiu yang dikeringkan, untuk diperdagangkan di Cina bagian selatan. Ketika Portugis datang pada awal 1500-an, bangsa Bugis juga telah dikenal sebagai bajak laut yang menjual hasil rampasan mereka hingga ke Malaka. Bahkan pada 1970-an, sekitar dua ratus kapal yang dikenal sebagai kapal Pinisi milik bangsa Bugis yang beratnya antara 120-200 ton, masih bisa ditemukan memenuhi pelabuhan Sunda Kelapa di dekat Jakarta, dan lebih banyak lagi di Surabaya atau Ujung Pandang. Dan pada 1980-an, armada yang terdiri dari 800 Pinisi masih membawa kayu dalam rute reguler dari Kalimantan ke Jawa.
Bangsa Bugis juga merupakan koloni bahari yang sukses, yang berhasil mendirikan pos-pos perdagangan hampir di setiap pelabuhan di Indonesia. Pada abad ke-17, mereka bahkan mengambil alih kerajaan Johor, dan dalam kurun waktu 1820-1830, pada masa‑masa pembentukan Singapura, bangsa Bugis sudah memiliki tempat tinggal di sana. Pada 1792, seorang pelancong menyatakan bahwa "Masyarakat Bugis yang datang tiap tahun untuk berdagang di Sumatra dianggap para penduduk setempat sebagai teladan dalam cara bersikap, bangsa Melayu meniru gaya berpakaian mereka, serta membuat pantun-pantun yang memuji pencapaian mereka. Reputasi mereka tentang keberanian, yang melebihi semua pelaut di perairan bagian timur, mendapat sanjungan khusus. Mereka juga memperoleh rasa hormat dari barang-barang mahal yang mereka datangkan, serta semangat yang mereka tunjukkan ketika membelanjakannya."
Empat puluh lima tahun kemudian, seorang penulis bercerita tentang bangsa Bugis yang membentuk koloni di India: "... dalam hal kejujuran, kepribadian, dan perilaku, mereka jauh lebih unggul daripada bangsa Melayu. ...” Orang asing menganggap bangsa Bugis sebagai bangsa perompak. Seorang Cina berkata bahwa orang-orang Bugis 'suka berpikir dan bertindak menuruti kemauan sendiri, dan mencari keuntungan dengan cara yang tidak benar'. Tanpa bermaksud untuk menentang pendapat itu, selama saya berkunjung ke India, saya tidak pernah satu kali pun mendengar adanya pembajakan yang dilakukan oleh pedagang Bugis. Bahkan, sepanjang pengetahuan saya, ada beberapa peristiwa yang justru membuktikan bahwa mereka cenderung bersikap sebaliknya."
Peta asal Belanda yang dibuat pada abad kc-18 dan digambar kembali o1eh navigator Bugis, menunjukkan bahwa pelaut-pelaut gagah berani itu telah berhasil mencapai Kepulauan Maladewa yang bentuknya menggantung dari India seperti pukat/jaring yang dapat menangkap semua pergerakan yang tcrjadi antara Asia Timur dan Afrika. Tak ada yang tahu, sudah berapa lama mereka berada di Maladewa. Tetapi, dengan melihat bentuk kapal mereka yang lebih mirip dengan kapal Indonesia dibandingkan dengan kapal India atau Arab, diperkirakan hubungan itu sudah berlangsung sejak jaman dulu."
Dari semua penjelasan di atas, terlihat bahwa bangsa Bugis, sampai dengan saat ini, adalah bangsa pelaut yang luar biasa. Pemimpin yang baik, pelaut ulung, pedagang yang jujur, senang berpetualang, dan prajurit perang yang baik. Pada masa lampau, mungkin mereka adalah bajak laut yang kejam dan suka memenggal kepala lawannya. Tetapi jika sewaktu-waktu seorang penguasa kerajaan Indonesia membutuhkan sebuah armada yang dikelola pelaut paling hebat yang pernah ada, tak ada yang melebihi kehebatan pelaut Bajo atau Bugis, atau gabungan dari keduanya. Jika muncul kebutuhan semacarn itu, bangsa Bugis dan keturunan mereka akan terpilih menjadi orang-orang yang paling dipercaya. Kelompok inilah yang paling mampu melayani kerajaan-kerajaan tua di Indonesia dengan baik, khususnya Sriwijaya. Dan dalam kasus perjalanan ke Afrika, mereka (bangsa Bugis) adalah orang Indonesia yang paling mungkin terlibat.
Ada pendapat lain yang mendukung hipotesis ini. Sebuah inskripsi tua Melayu yang berasal dari Palembang dan Pulau Bangka menceritakan siddhayatra yang agung, ketika Raja Sriwijaya melakukan pencarian "kekuatan supernatural". Isinya tidak dapat secara langsung kita pahami, tetapi bahasa yang digunakan dalam inskripsi itu sangat penting. Fakta ini ditemukan olch Alexander Adelaar ketika sedang mempelajari asal-usul bahasa Madagaskar. Dengan memerhatikan kemiripan antara bahasa Malagasi clan Melayu, ia membandingkan istilah-istilah dalam bahasa Melayu yang sama dengan bahasa Malagasi, lalu menarik kesimpulan: "Istilah-istilah dalam inskripsi tersebut menunjukkan bahwa migran Malagasi pada masa lampau melakukan hubungan dengan Sumatra Selatan ...... Lebih jauh lagi, lanjutnya, "Bukti-bukti tersebut memperkuat hipotesis yang telah disebutkan di atas bahwa beberapa kalimat dalam bahasa yang tak dikenal (yang menunjukkan kemiripan dengan bahasa-bahasa Barito) yang tertera pada inskripsi bangsa Melayu di Sumatra Selatan pada abad ke-7 M adalah sejenis bahasa pra-Malagasi."
Pentingnya bukti-bukti itu akan terkuak jika kita mulai melihat hubungan antara Madagaskar dan Afrika. Tetapi, selain memperkuat dugaan kaitan antara Sriwijaya dan Madagaskar, bukti-bukti itu juga memperlihatkan adanya hubungan antara Sriwijaya dan Sulawesi/Kalimantan. Bahasa-bahasa Barito yang disebut olch Adelaar (diambil dari nama sungai di Kalimantan Selatan) yang memiliki kesamaan, tidak saja dengan bahasa Malagasi modern, tetapi juga dengan bahasa-bahasa yang ada di Sulawesi Barat Daya, yang merupakan kampung halaman bangsa Bugis, Bajo, dan Makassar.
Meskipun belum sepenuhnya jelas, semua bukti menunjukkan bahwa nenek moyang bangsa Bugis dan Bajo merupakan tulang punggung angkatan laut Kerajaan Sriwijaya, demikian juga keterkaitan bahasa Bugis/Bajo dengan Madagaskar dan—lebih luas lagi—dengan Pantai Timur Afrika.
(Sumber : Buku Penjelajah Bahari, oleh Roberth Dick-Read, Halaman 88-103)
No comments:
Post a Comment