Wednesday, March 5, 2014

CALO' AMMANA I WEWANG


Jika di Bone dikenal Lapawowoi, Lasinrang di Sawitto, maka di Mandar kita kenal Ajuara Topole di Juppadang, Kaco' Puang Ammana I Pattolawali Mara'dia Malolo Banggae dan Pamboang, Calo' Ammana I Wewang Mara'dia Malolo Balanipa, La'langi Parimuku, Pattolo' Pattana Sompa, Ka'mundri (Kali Pondhi) Kadhi Adolang.
Sebelum kita tiba kepada sejarah perlawanan mereka kepada Belanda ada baiknya jika penulis (ANDI SYAIFUL SINRANG) memperlihatkan silsilahnya (Lihat Lampiran). Jika melihat silsilah ini, maka jelas terlihat bahwa pahlawan-pahlawan itu masih keturunan Puang (bah. Ind. Bangsawan). Jadi penulis (ANDI SYAIFUL SINRANG) berpendapat bahwa kepemimpinan Bangsawan pada masa dahulu masih sangat diperlukan, dalam memimpin suatu perjuangan baik perlawanan terhadap Belanda maupun terhadap perjuangan-perjuangan lainnya. Sekitar tahun 1894 Kerajaan Pamboang diperintah oleh Ajuara gelar To Pole di Juppadang. Gelar ini diperoleh karena beliau sempat diasingkan ke Ujung Pandang dan ditawan di BALLA' TINGGIA.

Menurut keterangan dari Jalani Pua' Tammasala yang masih hidup sejak terbitnya buku (MENGENAL MANDAR SEKILAS LINTAS) ini bertempat tinggal di Luaor Kecamatan Pamboang bahwa kedatangan Belanda di Majene/Pamboang adalah disekitar tahun 0 (nol). [penafsiran penulis ANDI SYAIFUL SINRANG) tentang istilah 0 (nol) ini adalah tahun 1900). Bermula kedatangannya diterima baik oleh raja-raja dan bangsawan-bangsawan pada umumnya. Bahkan selama 5 (lima) tahun berhasil mengadakan kerjasama khusus dibidang perdagangan, dan kesehatan yang diikat dalam suatu perjanjian tertulis.

Tahun 1905 Belanda memulai politik penjajahannya yang merupakan maksud utama kedatangannya di Indonesia. Tahun itupula Belanda telah mengingkari perjanjian. Akibatnya Ajuara Arayang Pamboang, Kaco' Puang Ammana I Pattolawali dan Calo' Ammana I Wewang mengadakan pemberontakan. Menyusul pemberontakan La'langi Parimuku dan Pattolo' Pattana Sompa' dari Mamuju.

Pada hari-hari pertama Ammana I Wewang, Ammana I Pattolawali berhasil membakar tangsi (Boyang Sowa') di Majene dan merampas sebanyak 80 pucuk senjata dan menawan seorang juru tulis Belanda.

Dengan pertimbangan kekuatan tidak seimbang, maka ada diantara anggota Hadat Banggae yang tidak menyetujui pemberontakan itu. Dengan segala alat-alat perlengkapan perang dan beberapa anggota Hadat Banggae, berangkatlah ke Pamboang untuk menyusun kekuatan yang lebih besar. Menurut perhitungan ditinjau dari sudut Pertahanan Militer, Pamboang sangat strategis apalagi dengan BETTENGNYA di Galung Adolang yang telah dipersiapkan sebelumnya. Ditinjau dari segi perlengkapan perang sangat cocok karena pedagang-pedagang di Pamboang sudah kenal dengan Singapura. Dilihat dari segi kekompakan Raja, Hadat dan Rakyatnya ada labih baik dari pada Banggae. Ditinjau dari supply makanan lebih dekat dengan kerajaan Sendana, kerajaan terbanyak makanannya pada masa itu, yang Rajanya bernama I RUKKA LUMU dari tahun 1903-1907. Sesuai dengan struktur TAMMAJARRA, kerajaan Senada adalah KINDO' yang senantiasa bersedia memberi makanan kepada anak-anaknya bila menghendaki atau menghadapi kesulitan.

Setibanya di Pamboang segera mengadakan perundingan dengan Pallayaran Tallunna Pamboang termasuk seluruh Pappuangan, mengenai tindakan yang harus diambil bila Belanda menyerang Pamboang. Diputuskan – ditetapkan :
  1. Sejengkalpun tanah tersisa di Pamboang – Mandar, akan kita pertahankan sampai tetesan darah yang terakhir.
  2. Kalah perang di pantai, kita mundur ke Betteng Galung Adolang sebagai pusat pertahanan dan gerilya.
  3. Semua yang dianggap tidak membantu perjuangan, diambil hartanya untuk biaya perjuangan, yang melawan dibunuh.

Hari yang tak diketahui tanggalnya, Belanda mengirim utusan ke Pamboang untuk menemui Raja (Arayang) mengenai pendiriannya. Arayang Pamboang Ajuara yang diapit oleh menantu dan sepupu sekalinya yaitu Ammana I Pattolawali dan Ammana I Wewang menjawab: "Tidak ada jalan untuk kompromi apalagi untuk menyerah"

Pada hari H, Belanda mulai menyerang Pamboang melalui Banggae dan dibantu oleh serdadu yang naik Kapal Putih (Kapal Perang) dari laut, yang diperlengkapi dengan meriam yang belum pernah di lihat dan di dengar semacamnya oleh rakyat Pamboang. Dari laut sebelum meriam kapal itu meletus, sirenenya dibunyikan sebanyak 3 kali. Secara spontan pasukan Ammana I Pattolawali membalas dengan bunyi meriam 3 kali pula dan serentetan bunyi senjata yang kecil-kecil. Serdadu yang dari kapal itu khusus didatangkan dari Betawi melalui Menado, Palu dan Donggala.

Dari kapal Belanda berbunyilah meriam otomatis dan senjata-senjata berat lainnya. Menurut keterangan Ibu Kandung Penulis (ANDI SYAIFUL SINRANG) yang masih hidup sejak terbitnya buku (MENGENAL MANDAR SEKILAS LINTAS) ini yang merupakan sumber utama dari penulisan sejarah ini menyatakan :
  • Kebanyakan serdadu Belanda itu terdiri dari bangsa kita sendiri yaitu : Ambon, Menado dan Jawa.
  • Karena ketakutan yang berlebihan mendengar bunyi meriam itu, maka orang-orang (non militer) yang sedang buang air besar tak ingat lagi untuk bercuci langsung melarikan diri.
Serdadu yang dari kapal Belanda mendarat sudah. Pasukan Mara'dia Malolo bermaksud untuk bertahan di Pantai Pamboang, tetapi Ajuara Arayang Pamboang membuat kebijaksanaan khusus untuk menghindarkan pengorbanan rakyat biasa yaitu "Kita harus mundur ke Betteng Galung, nanti disana kita bertahan mati-matian" Kebijaksanaan ini berkenan di hati kedua Pahlawan itu. Maka mundurlah mereka bersama pasukannya secara jantan (bah. Mandar malai tommuanei). Dengan semangat baja, TRI TUNGGAL ini yaitu : Ajuara Arayang Pamboang, Kaco' Puang Mara'dia Malolo Banggae, dan I Latta Permaisuri Kerajaan Pamboang, tiba dengan selamat di Betteng Galung.

Berkali-kali Belanda mengirim Delegasi ke Galung untuk mengajak berdamai tetapi tidak berhasil. Tri Tunggal dan beberapa orang pengikutnya termasuk Kura'da Puang Tondo' Pa'bicara Adolang dan Daenna I Hama' memilih mati daripada bekerjasama dengan Belanda apalagi dikatakan menyerah. Mereka malu mengingkari pasang (kata semula) yang berbunyi : "Ropo'o mai bulang, tililimo'o sau buttu, tannaulele diuru pura loau" artinya "Sekiranya langit boleh runtuh, yah…runtuhlah; Gunung bisa terbang, ya…terbanglah; tetapi saya tidak akan beranjak sedikitpun dari kata semula"

Betteng Galung di serang. Pertempuran dikobarkan terus. Kedua belah pihak bergumul mati-matian. Korban kedua belah pihak berjatuhan. Dapat ditandai, jika yang luka (mati) mengucapkan aduh…, itu menandakan serdadu Belanda itu berasal dari Suku Ambon, Menado atau Jawa. Jika Belanda Totok (asli), mengaduh dengan bahasanya sendiri. Belanda mengakui jika Betteng Galung diserang dari arah mana saja, memang sukar ditembus karena sangat jurang, tambah pula banyak batu-batu besar yang dijejer dipinggir tebing untuk digulingkan sewaktu-waktu ada serangan. Kecuali satu jalan rahasia dari Timbogading.

Pada hari-hari terakhir muncullah seorang penghianat, yaitu bekas Syahbandar Pamboang juga bekas pasukan Ammana I Pattolawali, menunjukkan jalan rahasia itu dari Timbogading (dari belakang). Pada saat itu serdadu Belanda lolos masuk ke dalam Betteng. Maka terjadilah pertempuran yang sangat sengit. Beradulah senjata api dengan senjata api, pedang bayonet dengan parang, kondo wulo, keris dan tombak. Darah pahlawan menyirami Bumi Betteng Galung. Daging dan tulang berserakan/berhamburan. Karena sentuhan peluru dan pedang memupuk persada Betteng Galung. Seorang Obos (menurut pengertian orang di Galung) yang memakai topi Strep kuning emas, persis berhadapan langsung dengan Panglima Kaco' Puang Mara'dia Malolo. Menurut cerita orang tua-tua (ada yang masih hidup sampai terbitnya buku MENGENAL MANDAR SEKILAS LINTAS ini) bahwa duel kedua orang itu berlangsung kira-kira 7 (tujuh) menit. Dalam persitiwa itu gugurlah Kesuma Bangsa Kaco' Puang Ammana I Pattolawali Mara'dia Malolo dengan meninggalkan seorang isteri bernama Haji Jamilah dan 2 orang anak perempuan bernama Puang Bere dan Puang Pune, bersama kawan seperjuangannya yang paling setia yaitu Kali Ka'mundri (Kali Podhi) Kali Adolang dan Daenna I Hama', keduanya dari Kerajaan Pamboang.

Menurut keterangan dari 2 orang yang turut memakamkan Ammana I Pattolawali melalui Andi Mappatunru' cucu langsung dari Mara'dia Ammana I Wewang dan Maralai cucu langsung dari Kura'da Puang Tondo' Pa'bicara Adolang keduanya masih hidup saat tersusunnya buku (MENGENAL MANDAR SEKILAS LINTAS) ini menyatakan : "Pahlawan itu (Ammana I Pattolawali) gugur tanpa luka. Beliau tahan peluru dan benda-benda tajam lainnya. Yang menyebabkan kegugurannya ialah lengannya ditarik oleh beberapa orang serdadu Belanda, sampai tulang lengannya berpisah dengan badannya. Dari mulut, telinga, dan mata mengeluarkan darah" Dengan gugurnya Ammana I Pattolawali adalah merupakan titik terakhir perlawanan yang berarti dari pasukan penentang Belanda di daerah Mandar.

Ajuara Arayang Pamboang dengan Permaisuri I Latta mengundurkan diri ke Onang Kerajaan Sendana melalui Ulu Balombong. Ammana I Wewang mengundurkan diri ke hutan (daerah Alu), dimana bapaknya bernama I GA-ANG menjadi Mara'dia pada masa itu. Mayat Ammana I Pattolawali dapat diselamatkan (tidak diambil Belanda) atas perlindungan Pasukan Mandar yang masih hidup atas petunjuk Puang Tondo'.

Setelah beberapa hari Belanda menduduki Pamboang, Belanda mengirim utusan ke Onang Sendana dengan pesanan :
  • Arayang supaya kembali saja ke Pamboang dan akan tetap menjadi raja dengan Hadat-Hadatnya.
  • Kedatangan Belanda hanya urusan dagang dan akan diadakan perundingan mengenai soal tersebut.
Maka berangkatlah Ajuara ke Pamboang bersama pengikutnya termasuk Kura'da Daeng Mattantu gelar Puang Tondo' Pa'bicara Adolang. Sesampai di Pamboang diadakanlah perundingan di atas Kapal Putih/Kapal Perang. Tidak di adakan di darat karena dikhawatirkan sementara perundingan, Ammana I wewang menyerang. Itulah alasan Belanda yang membuat Arayang Ajuara tidak merasa curiga.

Sebelum perundingan dimulai, Kapal Perang Putih diberangkatkan ke Ujung Pandang (sekarang Makassar), berarti pengasingan bagi pahlawan-pahlawan kita. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1907. Mereka ditawan di Balla Tinggia di Ujung Pandang. Berselang beberapa tahun mereka kembali ke Pamboang dengan selamat. Sebagai kenangan dan peringatan bagi mereka berdua, Arayang Ajuara diberi gelar TO POLE DI JUPPADANG dan Kura'da Puang Tondo', salah seorang cucunya yang dilahirkan sementara beliau dalam pengasingan di Balla' Tinggia diberi nama I TINGGI.
Calo' Ammana I Wewang Mara'dia Malolo Balanipa,
Dalam Pakaian Hadat

Malang bagi pahlawan Ammana I Wewang dalam suatu serangan yang tak disangka-sangka dari serdadu Belanda, berliau tertangkap dan diasingkan ke Pulau Belitung (sekarang Propinsi Bangka Belitung). Oleh anak cucu beliau menugaskan kepada seorang bernama Muhammad Ali untuk mengambil dalam pengasingan. Peristiwa pengasingan ini terjadi dari tahun 1907 dan kembali ke Mandar tahun 1944. Beliau wafat dan dimakamkan di dalam pekarangan Masjid Limboro Balanipa pada tanggal 11 April 1967. Dengan surat keputusan dari Pemerintah Republik Indonesia beliau diakui sebagai PEJUANG PERINTIS KEMERDEKAAN. Pahlawan ini oleh masyarakat Mandar dikenal dengan gelar TO POLE DI BALITUNG. Dan sebagai kenangan dari Kali Adolang lahir pulalah serangkaian syair berbunyi sebagai berikut : "Mate Kalinna Adolang, Tombong guma kowi'na, Pura sumangi' to ilalang tumae" artinya "Gugurlah sudah Kadhi Adolang, Tembus berlobang sarung parungnya, semua orang dalam tunangan, turut meratap sambil menangis" Catatan :
  • Mengapa orang-orang dalam tunangan turut menangis?
  • Karena menurut pendapat orang Adolang pada masa itu, hanyalah Kadhi Adolang satu-satunya yang dapat (punya berkah) dalam mengawinkan orang.
  • Belum ada yang berpendapat bahwa tidak akan kawin sama sekali dengan kematian Kadhi Adolang tersebut.
  • (Sumber : Buku MENGENAL MANDAR SEKILAS LINTAS, oleh ANDI SYAIFUL SINRANG, Penerbit Group "Tipalayo" Polemaju Mandar, tahun 1980, halaman 39 s/d 46)

No comments:

Post a Comment