Bab
ini merupakan ringkasan artikel Christian Pelras yang diterbitkan dalam
majalah Archipel pada l997, dengan judul "La premiere description de
Celebes-Sud en francais et la destinee remarquable de deux jeunes
princes makassar dans la France de Louis XIV" (Pemerian pertama mengenai
Sulawesi Selatan dalam bahasa Prancis dan nasib menakjubkan dua orang
pangeran Makassar di Prancis pada masa Louis XIV).
Dalam abad ke-17, masih sedikit sekali orang Prancis mengunjungi Makassar; yang paling terkenal di antaranya adalah Pierre Berthelot, Alexandre de Rhodes, Joseph Tissanier, dan Daniel Tavernier, saudara laki-laki Jean-Baptiste Tavernier. Pierre Berthelot tiba di Makassar tahun 1622 sebagai kelasi kapal pengawas kecil Hermitage, salah satu kapal armada Beaulieu dan menetap di sana selama tiga tahun, bekerja untuk kantor dagang Portugis, lalu pergi ke Goa dan mati sebagai martir di Aceh tahun 1638. Sekembalinya dari Tiongkok scoring jesuit, Alexandre de Rhodes menetap selama delapan tahun di Makassar. Pastor Tissanier singgah di sana tahun 1661. Para pengikut Huguenot yang diasingkan di Prancis setelah pencabutan Edit de Nantes merupakan satu-satunya bangsa Prancis yang diizinkan Belanda untuk menjalani kegiatan di wilayah kekuasaan mereka karena semenjak kekalahan Makassar tahun 1666, baik Prancis, Inggris, Portugis, maupun Denmark tidak boleh membuka kantor dagang di Makassar.Keluarga kerajaan memiliki tradisi mengirim para pangeran muda untuk melengkapi pendidikan mereka di dalam kerajaan atau keluarga bangsawan asing, selaku pemuda ningrat yang dilatih dalam pengetalman militer pada usia lima atau enam tahun hingga masa remaja. Dua dari anak pemuda ningrat itu adalah putra Daen Ma-Alee (Daeng Mangalle), pangeran dari Makassar yang hidup dalam pengasingan di kerajaan Siam. Tapi sebagai penganut muslim, Daeng Mangalle dituduh bersekongkol melawan Raja Siam dan tewas saat pertempuran sengit yang telah dikisahkan pada bab sebelumnva, September 1686. Di antara mereka yang hidup, terdapat dua orang pangeran. Daeng Ruru yang berusia 15 tahun dan Daeng Tulolo, 16 tahun. Kepala kantor dagang Prancis di kerajaan Siam memutuskan untuk mengirim keduanya ke Prancis. Mereka naik kapal Coche pada akhir November 1686, tiba di Brest 15 Agustus 1687, dan baru berlabuh di Paris pada 10 September. Louis XIV tidak hanya merasa wajib memenuhi kebutuhan hidup mereka tapi juga mengurus pendidikan mereka dengan alasan kelas sosial kedua pangeran tersebut.
Kedua pemuda muslim itu terlebih dahulu dibaptis dalam agama Kristen dan diberi nama kehormatan Louis seperti Raja Prancis. Mereka didaftarkan ke kolese jesuit di Louis le-Grand untuk mempelajari bahasa Prancis sebelurn diterima di sekolah tinggi Clermont yang terkenal. Setelah itu mereka diterima di salah satu institusi Prancis paling bergengsi, sekolah perwira angkatan laut Brest yang pada 1682 menjadi cikal-bakal sekolah angkatan laut, sekolah marinir tertinggi di Prancis. sekolah itu dibagi ke dalam tiga kompi, masing-masing berisi 300-350 taruna. Tahun 1690, hanya 206 calon taruna yang diterima karena penerimaannya benar-benar selektif. Untuk dapat diterima, para calon taruna harus berusia kurang daripada 18 tahun dan berasal dari kalangan elit aristokrat di negaranya. Sekolah itu merupakan pencetak perwira yang dipilih secara teliti dan memiliki pendidikan kelautan dan militer terbaik. Fakta bahwa Daeng Ruru dapat diterima dalam institusi itu membuktikan perhatian yang diberikan Raja Prancis pada kedua pangeran asing tersebut. Kedua taruna ini tidak hanya menjadi amat sulit diatur tapi juga merasa lebih tinggi daripada yang lain vang tentunya sesuai dengan seorang Makassar yang berdarah biru. Mereka memandang perwira lain sama terhormat dan sama pintar dengan mereka tetapi berasal dari kelas yang rendah.
Orang terkejut dengan cepatnya promosi Daeng Ruru muda yang lulus sebagai perwira angkatan laut hanya selang dua tahun ia bersekolah. Ia berusia 19 tahun saat menyandang pangkat letnan muda yang setara dengan letnan di angkatan darat; dan berusia 20 tahun saat menjadi letnan angkatan laut. yang setara dengan kapten angkatan darat. Untuk maju dalam karir itu, ia harus benar-benar cerdas juga berharta. Makanya tunjangan keuangan dari kerajaan kepada Daeng Ruru benar-benar diperlukan. Kendati kemajuannya yang cepat, pada 1706 Louis Pierre Makassar mengajukan keluhan dalam suatu surat yang ditujukan kepada de Pontchartrain, menteri kelautan kerajaan Louis XIV, karena tidak di ikutsertakan dalam pelavaran operasi angkatan laut yang akan dilaksanakan.
Akhirnya, 3 Januari 1707, pangeran dari Makassar itu dapat berlayar dan bertugas di kapal Jason, sebuah kapal bersenjatakan 54 meriam dengan tugas memburu kapal penyerang Belanda Vlisingen yang menyerang kawasan laut Belle-ile dan ile de Croix. Kapal itu milik armada laut Laksamana Duquesne. Tak lama setelah itu, Daeng Ruru ditunjuk untuk bertugas di kapal Grand yang akan ambil bagian dalam armada laut Laksamana Ducasse. Pada tanggal 19 Oktober1707,, armada laut itu tiba di Havana untuk membantu Spanyol bertempur melawan Inggris. Pada 19 Mei 1708, Daeng Ruru tewas: entah karena masalah kehormatan atau perkara utang judi. Sehubungan dengan adik bungsunya, Daeng Tulolo, alias Louis Dauphin Makassar. Kamus Moreri mengungkapkan kisah yang aneh, "Salah satu dari kedua bersaudara itu tewas ketika mengabdi kepada raja. Dia yang bertahan hidup, setelah mengetahui kematian sepupunya, pulang dari Prancis untuk mengambilalih takhta moyangnya dan raja mengizinkannya naik kapalnya. la terlihat amat tekun menjalankan agama Katolik, dan bahkan sebelum meninggalkan Paris ia membuat suatu gambar yang sepertinya dipersembahkan untuk Perawan Suci, dan mendirikan ordo yang disebut "bintang", di mana para satrianya harus mengenakan pita putih yang ia tempatkan di bawah perlindungan Bunda Maria. Gambar itu diletakkan dalam gereja Notre-Dame tapi beberapa tahun kemudian, gambar itu diturunkan setelah orang tahu bahwa pangeran itu telah memeluk agama moyangnya dengan alasan poligami". Kendati begitu, kenaikan pangkat Daeng Tulolo lebih lambat daripada abangnya. Ia lulus dari sekolah angkatan laut pada 18 Mei 1699 tetapi menunggu 13 tahun sebelum diangkat menjadi letnan muda pada usia 38 tahun, pangkat yang disandangnya seumur hidup. Ia bertugas di kapal India. Ketika ia meninggal di Brest 30 November 1736 pada usia 62 tahun, “Ia dibawa ke gereja Carmes di kota itu untuk disemayamkan dengan dihadiri beberapa perwira angkatan laut". Ia dikubur dalam gereja Louis de Brest. Jenazahnya hancur ketika terjadi pemboman saat Perang Dunia II.
(Sumber : Buku Orang Indonesia & Orang Prancis, dari abad XVI sampai dengan abad XX, oleh Bernard Dorleans – 2006, halaman 123-125)
Dalam abad ke-17, masih sedikit sekali orang Prancis mengunjungi Makassar; yang paling terkenal di antaranya adalah Pierre Berthelot, Alexandre de Rhodes, Joseph Tissanier, dan Daniel Tavernier, saudara laki-laki Jean-Baptiste Tavernier. Pierre Berthelot tiba di Makassar tahun 1622 sebagai kelasi kapal pengawas kecil Hermitage, salah satu kapal armada Beaulieu dan menetap di sana selama tiga tahun, bekerja untuk kantor dagang Portugis, lalu pergi ke Goa dan mati sebagai martir di Aceh tahun 1638. Sekembalinya dari Tiongkok scoring jesuit, Alexandre de Rhodes menetap selama delapan tahun di Makassar. Pastor Tissanier singgah di sana tahun 1661. Para pengikut Huguenot yang diasingkan di Prancis setelah pencabutan Edit de Nantes merupakan satu-satunya bangsa Prancis yang diizinkan Belanda untuk menjalani kegiatan di wilayah kekuasaan mereka karena semenjak kekalahan Makassar tahun 1666, baik Prancis, Inggris, Portugis, maupun Denmark tidak boleh membuka kantor dagang di Makassar.Keluarga kerajaan memiliki tradisi mengirim para pangeran muda untuk melengkapi pendidikan mereka di dalam kerajaan atau keluarga bangsawan asing, selaku pemuda ningrat yang dilatih dalam pengetalman militer pada usia lima atau enam tahun hingga masa remaja. Dua dari anak pemuda ningrat itu adalah putra Daen Ma-Alee (Daeng Mangalle), pangeran dari Makassar yang hidup dalam pengasingan di kerajaan Siam. Tapi sebagai penganut muslim, Daeng Mangalle dituduh bersekongkol melawan Raja Siam dan tewas saat pertempuran sengit yang telah dikisahkan pada bab sebelumnva, September 1686. Di antara mereka yang hidup, terdapat dua orang pangeran. Daeng Ruru yang berusia 15 tahun dan Daeng Tulolo, 16 tahun. Kepala kantor dagang Prancis di kerajaan Siam memutuskan untuk mengirim keduanya ke Prancis. Mereka naik kapal Coche pada akhir November 1686, tiba di Brest 15 Agustus 1687, dan baru berlabuh di Paris pada 10 September. Louis XIV tidak hanya merasa wajib memenuhi kebutuhan hidup mereka tapi juga mengurus pendidikan mereka dengan alasan kelas sosial kedua pangeran tersebut.
Kedua pemuda muslim itu terlebih dahulu dibaptis dalam agama Kristen dan diberi nama kehormatan Louis seperti Raja Prancis. Mereka didaftarkan ke kolese jesuit di Louis le-Grand untuk mempelajari bahasa Prancis sebelurn diterima di sekolah tinggi Clermont yang terkenal. Setelah itu mereka diterima di salah satu institusi Prancis paling bergengsi, sekolah perwira angkatan laut Brest yang pada 1682 menjadi cikal-bakal sekolah angkatan laut, sekolah marinir tertinggi di Prancis. sekolah itu dibagi ke dalam tiga kompi, masing-masing berisi 300-350 taruna. Tahun 1690, hanya 206 calon taruna yang diterima karena penerimaannya benar-benar selektif. Untuk dapat diterima, para calon taruna harus berusia kurang daripada 18 tahun dan berasal dari kalangan elit aristokrat di negaranya. Sekolah itu merupakan pencetak perwira yang dipilih secara teliti dan memiliki pendidikan kelautan dan militer terbaik. Fakta bahwa Daeng Ruru dapat diterima dalam institusi itu membuktikan perhatian yang diberikan Raja Prancis pada kedua pangeran asing tersebut. Kedua taruna ini tidak hanya menjadi amat sulit diatur tapi juga merasa lebih tinggi daripada yang lain vang tentunya sesuai dengan seorang Makassar yang berdarah biru. Mereka memandang perwira lain sama terhormat dan sama pintar dengan mereka tetapi berasal dari kelas yang rendah.
Orang terkejut dengan cepatnya promosi Daeng Ruru muda yang lulus sebagai perwira angkatan laut hanya selang dua tahun ia bersekolah. Ia berusia 19 tahun saat menyandang pangkat letnan muda yang setara dengan letnan di angkatan darat; dan berusia 20 tahun saat menjadi letnan angkatan laut. yang setara dengan kapten angkatan darat. Untuk maju dalam karir itu, ia harus benar-benar cerdas juga berharta. Makanya tunjangan keuangan dari kerajaan kepada Daeng Ruru benar-benar diperlukan. Kendati kemajuannya yang cepat, pada 1706 Louis Pierre Makassar mengajukan keluhan dalam suatu surat yang ditujukan kepada de Pontchartrain, menteri kelautan kerajaan Louis XIV, karena tidak di ikutsertakan dalam pelavaran operasi angkatan laut yang akan dilaksanakan.
Akhirnya, 3 Januari 1707, pangeran dari Makassar itu dapat berlayar dan bertugas di kapal Jason, sebuah kapal bersenjatakan 54 meriam dengan tugas memburu kapal penyerang Belanda Vlisingen yang menyerang kawasan laut Belle-ile dan ile de Croix. Kapal itu milik armada laut Laksamana Duquesne. Tak lama setelah itu, Daeng Ruru ditunjuk untuk bertugas di kapal Grand yang akan ambil bagian dalam armada laut Laksamana Ducasse. Pada tanggal 19 Oktober1707,, armada laut itu tiba di Havana untuk membantu Spanyol bertempur melawan Inggris. Pada 19 Mei 1708, Daeng Ruru tewas: entah karena masalah kehormatan atau perkara utang judi. Sehubungan dengan adik bungsunya, Daeng Tulolo, alias Louis Dauphin Makassar. Kamus Moreri mengungkapkan kisah yang aneh, "Salah satu dari kedua bersaudara itu tewas ketika mengabdi kepada raja. Dia yang bertahan hidup, setelah mengetahui kematian sepupunya, pulang dari Prancis untuk mengambilalih takhta moyangnya dan raja mengizinkannya naik kapalnya. la terlihat amat tekun menjalankan agama Katolik, dan bahkan sebelum meninggalkan Paris ia membuat suatu gambar yang sepertinya dipersembahkan untuk Perawan Suci, dan mendirikan ordo yang disebut "bintang", di mana para satrianya harus mengenakan pita putih yang ia tempatkan di bawah perlindungan Bunda Maria. Gambar itu diletakkan dalam gereja Notre-Dame tapi beberapa tahun kemudian, gambar itu diturunkan setelah orang tahu bahwa pangeran itu telah memeluk agama moyangnya dengan alasan poligami". Kendati begitu, kenaikan pangkat Daeng Tulolo lebih lambat daripada abangnya. Ia lulus dari sekolah angkatan laut pada 18 Mei 1699 tetapi menunggu 13 tahun sebelum diangkat menjadi letnan muda pada usia 38 tahun, pangkat yang disandangnya seumur hidup. Ia bertugas di kapal India. Ketika ia meninggal di Brest 30 November 1736 pada usia 62 tahun, “Ia dibawa ke gereja Carmes di kota itu untuk disemayamkan dengan dihadiri beberapa perwira angkatan laut". Ia dikubur dalam gereja Louis de Brest. Jenazahnya hancur ketika terjadi pemboman saat Perang Dunia II.
(Sumber : Buku Orang Indonesia & Orang Prancis, dari abad XVI sampai dengan abad XX, oleh Bernard Dorleans – 2006, halaman 123-125)
No comments:
Post a Comment